Hukum&KriminalRiau

256 Anak dibawah Umur Jadi korban Kekerasan Seksual

*Kasus Terbesar Berada pada anak di Bawah Umur

* Psikolog : Bukti Kurangnya Edukasi dan Solisialisasi Pemerintah

PEKANBARU, Riauandalas.com- Selama Tahun 2019 Kekerasan Seksual di Provinsi Riau meningkat 49 persen. Yaitu mencapai angka 282 orang dibadingkan tahun 2018 lalu sebanyak 190 orang.

Korban terbesar berada pada anak dibawah umur dengan usia dibawah 18 tahun dengan jumlah sebanyak 256 orang dan 18 tahun keatas sebanyak 26 orang.

Informasi tersebut sesuai data yang ditangan Biddokes Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau selama tahun 2019. Dimana kasus kekerasan ini terbagi dalam tiga kategori, yaitu, perbuatan Cabul atau Persetubuhan sebanyak 266 orang, Perzinaan sebanyak 3 orang dan Perkosaan sebanyak 4 orang dengan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 9 orang dan keremouan sebanyak 273 orang.

Menurut Kabid Dokkes Polda Riau, Kombespol dr Adang Azhar Sp, FM, DFM melalui Kasubbid Yanmend Dokpol Polda Riau, Kompol Supriyanto, sesui data penanganan, kasus tersebut berasal dari enam kabupaten kota di Riau sesuai permintaan masing-masing Polres. Dimana kasus terbesar berada di kota Pekanbaru dengan jumlah kasus sebanyak 170 kasus, disusul Kota Dumai sebanyak 63 kasus, Kampar, 45 kasus, Meranti, 2 kasus, Siak 1 kasus dan Inhil, 1 kasus.

“Itu hanya pada 6 kabupaten kota, kalau untuk lainya bukan berarti tdk ada kasus atau sedikit, namun bisa saja telah diperiksa pada pelayanan medis setempat seperti RSUD/Puskesmas,” katanya kepada wartawan, Rabu (1/1).

Terkait pelaku, ia mengatakan sesuai data yang dirangkum pelaku merupakan orang terdekat, seperti teman yang jumlahnya mencapai 98 orang, dalam keluarga, 91orang, tetangga, 64 orang dan lain lainnya sebanyan 29 orang. Sedangkan untuk motif dan modus pelaku ada pada penyidik dan merupakan kewenangan penyidik. Artinya data yang ada pada Biddokes hanya sebatas mengungkap dan memastikan adanya tindakan kekerasan pada korban sesuai keterangan dari korban.

(Data kita berorientasi pada korban, data pelaku ada dengan penyidik yang menangani kasus,” ujar pencinta olahraga Biliar ini.

Disisi lain, Psikolog Violetta Hasan Noer mengatakan, jika meningkatnya sekerasan seksual, terutama terhadap dibawah umur ini merupakan salah satu bukti kurangnya pengawasan atau sosialisasi dari pemerintah. Karena untuk seksual ini tidak bisa di lepaskan begitu saja tapi harus ada edukasi yang dibuat pemerintah. Sehingga anak-anak kedepan akan lebih paham dan bisa mengetahui apa itu seksual.

“Edukasi ini harus dimulai dari usia dini yang juga dilanjutkan sampai tingkat demaja hingga pada orang tua atau masyarakat. Karena kekerasan ini pelakunya juga lebih besar pada tingkat anak-anak,” katanya.

Kejadian ini juga PR bagi pemerintah kedepan, karena perkembangan anak-anak saat ini jauh berbeda dengan sebelumnya. Tambah lagi sesuai perkembangan teknologi yang jauh berkembang yang memberikan peluang pada anak-anak maupun remaja lebih bebas.

Dulu katanya, memberikan edukasi seksual terhadap anak ini sedikit sulit karena dinilai kurang etis. Sebenarnya itu sangat bagus, karena dengan memberikan ilmu kepada mereka, mereka akan paham mana yang boleh dan seharusnya mereka pertahankan.

“Contohya saja kejadian Sodomi, jika edukasi diberikan mereka akan lebih paham dan akan memgetahui mana yang salah. Hal ini juga dilanjutkan sampai pada orang tua yang secara umum kurang ilmu terkait bimbingam seksual ini,” jelasnya.

Terkait korban kekerasan seksual yang bisa menjadi pelaku seperti kasus Sodomi, ia tidak menapik sesuai pengalaman banyak yang terlibat jadi pelaku. Tapi itu kembali pada bimbingan yang harus bisa dilakukan dengan baik dan tepat. Diantaranya melalui terapi Psikolog dan juga origram lainya seperti keagamaan. Sehingga mereka yang jadi korban tidak terbawa dalam masalah yang mereka alami.

“Sebenarnya penyebab pelaku berbuat ini tidak lepas dari kurangnya ilmu, sehinnga mereka jadi korban Imajinasi mereka sendiri ysng mendorong untuk melakukan. Maka itu kuncinya kembali pada orogram yang bisa memberikan pemahaman dari pemerintah,” ujarnya

Sementara, ketua Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak Riau (LBP2AR), Pekanbaru, Rosmaini mengatakan sangat prihatin dengan kejadian ini. Karena setiap tahun slalu saja meningkat terutama di kota Pekanbaru yang sebelumnya sudah menerima anugerah kota layak anak.

Sesuai pengalaman mendampingi korban selama ini, ia tidak hanya mengutuk pelaku untuk dihukum berat tapi juga pemerintah yang masih kurang perhatian terkait kejadian ini. Buktinya setiap tahun masih saja meningkat jumlahnya yang nenjadi korban.

“Kekerasan seksual ini bukan masalah spele karena menyangkut masa depan. Maka itu harus dihukum yang setimpal,” katanya.

Ia berharap, kedepan pemerintah juga harus membuat program dan menjadikan kejadian – kejadian ini sebagai moment pembelajaran. Tambah lagi masa depan anak ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pelayanan.

“Kita juga mendengar dan melihat jika pelaku itu juga orang dekat dan selalu berjumpa. Sepertinya saja disekolah. Sehingga sekolah juga salah satu lokasi untuk memberikan program. Jika bisa guru-gurunyapun diberikan pelatihan,” tuturnya. (dre)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *