Hukum&KriminalKesehatanNasional

Quo Vadis Penyalah guna Narkotika Penjara atau Rehabilitasi ?

JAKARTA, Riauandalas.com– Oleh Dr. Anang Iskandar Memvonis penjara bagi penyalah guna kecanduan seperti jedun dan jedun2 lainnya sama dengan menghancurkan masa depan anak bangsa .

Mayoritas hakim dalam proses mengadili terdakwa penyalahgunaan narkotika tidak memahami atau tidak baca kekhususan UU narkotika, mereka menggunakan sistem peradilan pidana sebagai main stream yang dibangun di republik ini.

Tidak tahu atau tidak baca kalau ada sistem peradilan rehabilitasi yang dianut oleh UU Narkotika khusus bila hakim menangani perkara penyalahgunaan narkotika .

Hal ini karena penyalah guna itu adalah orang sakit yang dikriminalkan oleh UU ( pasal 127 ). Penyalah guna ini lambat laun berproses menjadi pecandu, pecandu ini harus wajib direhabilitasi ( lihat pasal 54 ).

Penyalah guna itu kriminal yang secara alami bermetamorfose menjadi pecandu demikian pula pemidanaannya bermetamorfose dari hukuman penjara menjadi hukuman rehabilitasi yang bermakna menyembuhkan penyakit adiksi yang diderita penyalah guna narkotika ( lihat pasal 103 ayat 2 )

Unsur penyalah guna dan pengedar itu ada persamaannya yaitu tentang kepemilikan narkotika makanya banyak yang menganggap bahwa penyalah guna itu sama jahatnya dengan pengedar padahal berbeda jauh.

Kalau penyalah guna itu korban kejahatan narkotika (menurut criminologi) namun oleh UU dikriminalkan dan diancam dengan hukuman ringan ( dibawah 5 tahun) artinya tidak memenuhi sarat untuk ditahan berdasarkan pasal 21 KUHAP sedangkan pengedar penjahat sesungguhnya dan diancam dengan pidana berat, sah apabila dilakukan penahanan.

Jumlah kepemilikan narkotika sebagai barang bukti menjadi pembeda antara penyalah guna dan pengedar . Kalau jumlah narkotika yang dimiliki sedikit untuk pemakaian sehari, itu diindikasikan sebagai penyalah guna, kalau jumlah narkotika ketika ditangkap jumlahnya banyak melebihi pemakaian sehari ini mengindikasikan sebagai pengedar.

Secara sosiologis ternyata ada penyalah guna yang merangkap sebagai pengecer dengan paket hemat, kalau bisa dibuktikan sebagai pengecer paket hemat maka hakim boleh saja memvonis penjara tapi kalau barang buktinya sedikit hanya untuk pemakaian sehari maka hukuman rehabilitasi lebih tepat sebagai premium remedium karena UU narkotika sendiri menyatakan dengan jelas hukuman rehabilitasi- hukuman penjara.

Hakim dalam mengadili perkara narkotika dapat menggali keterangan dari terdakwa dengan pertanyaan : Untuk apa barang bukti yang dimiliki tsb ?
Kalau tujuan kepemilikan untuk dikonsumsi maka dapat dipastikan yang diadili itu adalah perkara pecandu . Hakim hukumnya wajib memvonis hukuman rehabilitasi bila terbukti salah, menjatuhkan keputusan berupa rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah ( pasal 103 )

Intinya penyalah guna itu criminal sekaligus penyandang penyakit ketergantungan narkotika, penegak hukum khususnya hakim
mestinya tahu tujuan dibuatnya UU Narkotika yang termaktub dalam pasal 4, dimana secara jelas dinyatakan bahwa penyalah guna itu dilindungi dan diselamatkan serta dijamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosialnya.

Ini menjadi pertanyaan masyarakat yang tidak memahami kekhususan UU narkotika, kok ada ya disatu sisi seorang kriminal yang diancam hukuman pidana maksimal 4 tahun disisi lain harus dilindungi dan diselamatkan serta dijamin direhabilitasi ?
Kok enak ? Kriminal dihukum rehabilitasi, ganti saja UU nya
Itu lah yang menjadi kendala kenapa UU narkotika implementasinya melenceng berlangsung agak lama sehingga penyalah guna nya berakhir di penjara. ( fendi / waka )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *