Hukum&KriminalINHU

Oknum Dewan Akan Dilaporkan ke Satgas Sapu Bersih Pungli

28dprd-inhu

 

RENGAT, Riau Andalas.com – KomJen Polisi Dwi Priyatno menjadi Ketua Tim Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Pungli). Maka dugaan Pungli oleh oknum anggota DPRD Indragiri Hulu (Inhu) dalam waktu dekat akan dilaporkan ke Satgas Sapu Bersih Pungli yang dipimpin KomJen Polisi Dwi Priyatno ini. Pasalnya prilaku sejumlah oknum dewan ini sudah tidak bisa ditlorir lagi. Mereka menyapu bersih proyek PL di sejumlah SKPD Pemkab Inhu terutama di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Inhu.

 

Semua yang diduga terlibati dalam kasus proyek Aspirasi yakni oknum TAPD, oknum Banggar dan oknum SKPD pelaku pemecahan proyek sejenis menjadi PL. Untuk dimiliki oleh oknum dewan, proyek dipecah menjadi PL sampai Rp200 juta. Seharusnya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 39 Ayat 4 bahwa PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai alas an untuk memecah paket Pengadaan menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari proses lelang.

 

Hal in diduga disebabkan : Kelalaian TAPD yang mengakomodir usulan nilai paket pekerjaan yang dipecah untuk menghindari proses pelelangan. Akibatnya kegiatan yang dianggarkan berpotensi tidak sesuai dengan asas pengelolaan keuangan daerah yaitu efektif, efisien dan ekonomis.

 

Keangkuhan sejumlah oknum dewan semakin menjadi-jadi dan tidak bisa dibiarkan lagi. Oknum pejabat berinisial “I” mengeluh sejumlah kegiatan di SKPD-nya seperti dana SPPD dicoret Banggar dewan. Yang dipertahankan dewan adalah sejumlah paket proyek PL miliknya. Begitu juga oknum pejabat di Dina PU berinisial “N” mengatakan warga jangan minta proyek PL kepada kami, dan kalau mmau minta proyek PL minta saja kepada anggota dewan. “Kami suka jka hal ini dilaporkan ke Jakarta,” imbuhnya.

 

Masih masalah proyek Aspirasi, sejumlah Kepala Desa (Kades) juga mengeluh, paket proyek yang diusulkannya melalui murenbang desa, kecamatan dan tingkat kabupaten yang disampaikannya ke Dinas PU malah diambil oknum dewan. Contohnya, Ketua DPRD Inhu, Miswanto menjadikan paket proyek Aspirasi miliknya yakni Rehabilitasi Saluran ekunder 5 km lokasi dusun Mekar Sialang desa Sialang Dua Dahan Kecamatan Rengat Barat. Dan masih banyak lagi kasus serupa. Oknum dewan diduga menerima fee atau dugaan pungli diduga 10 % sampa 30 % dari pagu anggaran bagi siapa rekanan yang mengerjakannya.

 

Proyek punya dewan tersebut di PU tiap anggota dewan rata-rata Rp2 milyar satu SKPD. Seperti di Dinas Pekerjaan Umum (PU) : Ketua DPRD Inhu, Miswanto Rp2 milyar, Suroko Rp1,7 milyar, 1 milyar, Suradi 1,4 milyar, Efendi Rp1,3 milyar, Ahmad Arif Ramli Rp350 juta, Wisma Happy Rp200 juta, Sumini Rp1,8 milyar, Raja Darlan Rp1,5 milyar, Halason Sinaga Rp1,650 milyar, Raja Irwantoni Rp1,1 milyar, Raja Ferry Handayani Rp1,2 milyar, Heber Demerius Lubis Rp500 juta,  Suhariyanto Rp1,250 milyar, Sugeng Riono Rp795 juta, Manahara Napitupulu Rp1,4 milyar, Hayati Rp1,3 milyar, Adila Ansoei Rp2,2 milyar, Raja Andi Hakim Rp1,5 milyar, Encik Afrizal Rp1,650 milyar, Hamdani Rp600 juta, Mardius Rp550 juta, Marlius Rp2,1 milyar, Dono Rinaldi Rp1,2 milyar, Suharto Rp1,2 milyar, E.Junianto Rp800 juta, Mariadi Rp700 juta, Deari Zamora Rp2,2 milyar, Suroto Rp1,8 milyar, Nursyamsiah Rp1,855 milyar, Jefriadi Rp1,5 milyar, Suryan Rp2,195 milyar, Nopriadi Rp1,695 milyar, Rizal Zamzami Rp1,225 milyar, Wiwiek Hartati Rp1,8 milyar, Heri Nafolion Rp1,8 milyar, Edi Supirman Rp1,350 milyar, Heri Sukandi Rp1 milyar, Sigianto Rp1,4 milyar, Subadhil Anwae Rp2 milyar, dan terakhir diperuntukan untuk Fraksi PDI-P Rp1 milyar.

 

Dana Aspirasi atau Paket Aspirasi untuk Anggota DPRD bisa masuk katagori GRATFIKASI atau SUAP yang merupakan bagian dari persengkokolan (KKN) ? Apakah ada Persengkokolan antara LEGISLATIF dan EKSEKUTIF ? Dana Aspirasi/proyek aspirasi DPRD juga dilarang. Pelarangan ini diatur dalam Undang – undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010 tentang Tatib DPRD dan PP no 24 tahun 2004 tentang kedudukan protokoler dan keuangan DPRD. Apakah proyek aspirasi bertentangan dengan peraturan ini ?

 

Didalam keempat peraturan tersebut tidak ada diatur mengenai dana aspirasi bagi anggota DPRD. Jadi apa dasar hukum Pemkab Inhu tetap menganggarkan dana proyek aspirasi sampai saat ini ?

 

Dua jenis gratifikasi itu sudah secara tegas dilarang oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Gratifikasi yang berupa pemberian hadiah biasa diatur oleh Pasal 11 UU Tipikor, sedangkan Pasal 12B mengatur gratifikasi yang berujung ke penyuapan. Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

 

Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi :(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

 

  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 3. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 4. Pasal 12 UU Tipikor 5. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar

 

 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2004 jelas mengatur keuangan anggota DPRD, dan di dalam PP Nomor 16 tahun 2010 juga jelas diatur mengenai hak, kewajiban dan kode etik DPRD bahkan dalam pasal 91 huruf i menyatakan pelaksanaan perjalanan dinas anggota DPRD berdasarkan ketersediaan anggaran. Pasal 98 ayat (3) anggota DPRD dilarang melakukan KKN serta dilarang menerima gratifikasi, dengan sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD sebagaimana ditegaskan dalam pasal 99 ayat (2).

Permintaan anggota DPRD meminta paket proyek di berbagai SKPD yang diperuntukkan sebagai dana aspirasi adalah benar-benar memalukan dan melanggar hukum. Jika alasannya dana apirasi maka lebih fatal lagi akibatnya. Dan aspek gratifikasi diduga terjadi, sebab, Anggota DPRD juga diduga menikmati “FEE” dari Keuntungan proyek tersebut.FATALnya lagi, bahkan anggota DPRD jika menawarkan proyek tersebut ke pihak ketiga. Benarkah demikian ?

 

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor).Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap.Gratifikasi dan suap sebenarnya memiliki sedikit perbedaan, lebih lanjut dapat disimak artikel Perbedaan Antara Suap dengan Gratifikasi.

 

Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:

 

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.Informasi lebih lanjut mengenai gratifikasi dapat dibaca dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Di dalam buku tersebut (hal. 19) diuraikan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi (Harmaein Pilianglowe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *