Berita utama

Momen Kebahagiaan di Balik Jeruji Penjara

By: Wahyudi El Panggabean

SUATU hari, di akhir pekan (sekitar 28 tahun silam). Aku beroleh kesempatan, mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak, di Kota Pekanbaru.

Kala itu, aku bekerja sebagai wartawan, di Majalah Berita, FORUM Keadilan, Jakarta, besutan Wartawan Senior, Karni Ilyas.

Berburu informasi untuk dijadikan bahan rencana liputan menjadi tugas pra-prosesi jurnalisme para wartawan Majalah FORUM Keadilan.

Di media kawakan ini, semua wartawan mengawali pengusulan rencana liputan untuk diajukan ke “Sidang Proyeksi” di Redaksi.

“Sidang Proyeksi” inilah, kemudian yang memutuskan, apakah usulan seorang wartawan layak dijadikan bahan liputan untuk berita. Atau sebaliknya: ditolak.

Hari itu, mengunjungi Lapas Anak, menjadi salah satu strategiku. Dengan harapan mendapatkan informasi dari para terpidana di bawah umur itu.

Saat aku memasuki Aula Lapas, pagi itu, para bocah dan anak remaja narapidana ini, tengah khusyuk mendengar pesan-pesan moral seorang Ustazah.

Selain kegiatan Pramuka, mendengar ceramah agama, ternyata jadi rutinitas para bocah terhukum ini, di akhir pekan.

Sejak memasuki ruangan tadi, perhatianku sesungguhnya, sudah langsung tertuju pada seorang pria remaja yang duduk di salah satu kursi barisan depan. Tubuhnya paling besar di antara 75 orang temannya.

Begitu Ustazah mengucapkan salam mengakhiri tausyiahnya, aku pun segera menghampiri si Anak ini.

Gerangan apa kejahatan yang dia lakukan–yang mengantarnya jadi penghuni ruangan jeruji besi–gedung berpagar tembok tinggi itu?

Mengawali dengan senyuman, aku menyapa dengan lembut, agar komunikasi kami terasa aman. Alhamdulillah, dia, tampaknya, merasa damai dengan kehadiranku.

Kami berbincang akrab. Pria remaja ini, berinisial Tkn, usia 16 tahun. Tamatan SD. Berasal dari salah satu desa di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Ternyata, anak ini, seorang terpidana pembunuhan dengan vonnis 5 tahun penjara. Aku kaget atas pengakuannya. Tapi, aku berupaya menyembunyikan keterkejutanku.

Ia berkisah. Tahum 1994, atas himpitan ekonomi keluarga dia tergiur dengan agen tenaga kerja dari Riau. Ia djanjikan bekerja di toko sebagai pelayan.

Nyatanya jadi pembalak (bekerja logging kayu) di kawasan belantara, Kampar Kiri.

Sebulan bekerja di hutan, suatu senja, salah seorang teman kerjanya ditemukan tewas di sekitar camp mereka. “Kabarnya dia dibunuh,” katanya.

Sepekan setelah peristiwa itu, Tkn dijemput polisi untuk dimintai keterangan. “Tapi, setelah ditanya-tanya aku kemudian ditahan di kantor polisi, Pak. Sejak itu, aku tak pernah lagi hidup bebas. Sampai hari ini,” katanya.

Dengan ungkapan yang polos, Tkn menceritakan peristiwa demi peristiwa proses hukum yang dilaluinya, yang terkesan tidak difahaminya. Hingga akhirnya dia disidang di pengadilan.

“Kata hakim aku membunuh, Pak. Aku harus masuk penjara selama lima tahun. Padahal, aku tak tau apa-apa,” ungkapnya, lirih. Butiran bening, menitik dari sudut matanya.

Aku menangkap kesan ketidakadilan dari rangkaian bicaranya. Anak ini, tampaknya, dikorbankan. Dijadikan polisi sebagai tersangka pembunuh temannya.

Saat kuwawancarai, Tkn sudah tahun kedua menjalani hukumannya di Lapas itu.

Artinya, percakapanku dengan anak ini, bukan saja memenuhi harapanku dengan mendapatkan informasi untuk bahan rencana liputan dengan angel yang sangat menarik.

Sebab, problema anak ini, menurutku, adalah salah satu sisi ketidakadilan yang menuntut investigasi jurnalisme profesional, demi mengungkap fakta kebenaran. Ini menantang bagiku.

Selain persoalan ketidakadilan, pekerti apa, yang kupetik dari kisah ini?

Dari pengalamanku sebelumnya, acap kali makna terbaik dari wawancara, muncul di akhir perbincangan.

Untuk itulah, aku lantas, menanyakan kesan & pengalamannya selama berada di penjara itu.

Jawabanya, ternyata jauh dari dugaanku. Kesan nestapa yang sejak tadi, menghiasi wajahnya, tiba-tiba berubah cerya saat seulas senyum mengambang di bibirnya.

“Untung saya masuk penjara, Pak. Kalau tidak, gimana nasibku di hutan belantara sana. Semua sudah kacau, sejak peristiwa kematian temanku itu. Sampai sekarang orang tuaku tak tau keberadaanku,” katanya.

Di penjara inilah katanya dia beroleh pendidikan yang sangat bermanfaat. Mereka para anak narapidana, dididik disiplin, makan, mandi dan tidur secara teratur, belajar agama, kegiatan pramuka dan belajar buat kerajinan.

“Tetapi, yang paling kusyukuri, semua guru-guru pembina, mendidik kami dengan kasih sayang, Pak. Mereka semua sangat baik. Teman-teman juga baik-baik. Seperti keluarga sendiri….,” ungkapnya, pelan.

Anak ini, sebenarnya ingin menjelaskan, betapa suasana penjara telah memberinya kehangatan, cinta sesama & kebahagiaan.

Pengakuan anak ini mengingatkanku pada ungkapan manis, Motivator Amerika James J. Jones tentang kebahagiaan:

Kebahagiaan sejati, kata James hanya dapat ditemukan dalam kelembutan dan keintiman hubu­ngan keluarga.

“Seberapa pun giatnya kita mencari kesuksesan dan kebahagiaan di luar rumah, kita tidak akan pernah terpuaskan secara emosional sebelum kita menjalin hubungan keluarga yang dalam dan penuh kasih”.

Selalu ada cara tak terduga dari Tuhan untuk menganugerahi kebahagiaan buat seseorang.

Ironis bagi Tkn–seorang anak remaja terpidana– kehangatan cinta itu diperolehnya, saat dia mendekam di balik jeruji penjara.

Seperti ungkapan yang distir Gustaf Carl Jung, Psikolog dari Austria:

“Kebahagiaan akan kehilangan maknanya, jika tidak diimbangi oleh kesedihan…”.***