Hukum&KriminalRiau

98 Persen, Visum Hidup dan Otopsi Pecahkan Kasus Pidana

Teks fotonya, 1 Kabid Dokkes Polda Riau, Kombespol dr Adang Azhar Sp, FM, DFM, bersama tim saat menggali kubur Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu.

BIDDOKES Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau rilis giat tahun 2019. Diantaranya visum korban hidup (Forensik Klinis) dan Visum Korban Mati (Otopsi) sebagai giat yang menentukan keberhasilan pengungkapan kasus pidana yang ditangani kepolisian.

Sesuai data Biddokes Polda Riau, selama tahun 2019 ini ada ribuan kasus yang ditindaklajuti. Dimana kasus terbesar berada pada visum korban hidup yang setiap tahun selalu ada peningkatan. Yang tidak kalah pentingnya 98 persen dari ribuan kasus itu berhasil dipecahkan dengan maksimal.

Kabid Dokkes Polda Riau, Kombespol dr Adang Azhar Sp, FM, DFM melalui Kasubbid Yanmend Dokpol Rumah Sakit Bhayangkara Biddokkes Polda Riau, Kompol Supriyanto, mengatakan dalam menindaklajuti kasus visum korban hidup dan otopsi Rumah Sakit Bayangkara Polda Riau menempati ranting tertinggi dari beberapa rumah sakit Polri di pusat. Diantaranya Rumah Sakit Soekanto, Kramatjati Jakarta. Dimana puncak tertinggi itu berada pada tahun 2016 lalu dengan jumlah mencapai 2700 visum, khusunya visum korban hidup. Sedangkan untuk visum mati terbesar berada di Rumah Sakit Polri Kramatjati dan RSCM Jakarta.

Kegiatan Kedokteran Forensik RS Bhayangkara dan Biddokkes Polda Riau bersama Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

“Data ini berdasarkan penelusuran dan hasil koordinasi dengan berbagai Rumah Sakit di Wilayah Sumatera. Artinya Rumah Sakit Bayangkara Polda Riau termasuk rumah sakit terbesar dalam penanganan visum setiap tahun,” katanya, Ahad (29/12).

Terkait apa itu visum mati atau otopsi, ia juga menjelaskan dengan rinci, jika otopsi adalah prosedur medis yang dilakukan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada tubuh orang meninggal guna mengetahui penyebab orang tersebut meninggal dunia.

Sedangkan tujuannya adalah, menentukan penyebab kematian. Karena tanpa otopsi atau hanya dilakukan pemeriksaan luar saja, penyebab kematian seseorang tidak akan dapat ditentukan. Dan sesuai KUHAP 184, otopsi juga merupakan salah satu alat bukti yaitu, keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk tertulis (Hasil Visum) atau Lisan (Keterangan di Pengadilan).

Bentuk-bentuk kematian dalam tinjauan kedokteran Forensik, ada dua kategori kematian. Yaitu kematian wajar dan tidak wajar. Untuk kematian wajar seperti seseorang meninggal dirumah sakit yang diagnosanya sudah jelas oleh dokter yang menangani.

“Sedangkan kematian tidak wajar juga ada 5 poin, seperti seseorang yang meninggal karena, kasus pidana, laka lantas, kasus tenggelam, gantung diri dan kasus keracunan. Dari 5 poin ini mengindikasikan prosedur dilakukannya otopsi,” jelasnya.

Terkait tolak ukur keberhasilan suatu otopsi tambahnya, dapat menentukan sebab mati seseorang setelah melakukan pemeriksaan.
Karena dalam otopsi hanya mencari atau menyingkirkan 2 hal penting, yaitu akibat penyakit (Wajar) dan akibat kekerasan atau Keracunan (mati tidak wajar).

“Sesuai Kompetensinya pemeriksaan otopsi hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis Forensik dan bukan oleh dokter umum atau dokter spesialis lainnya. Hanya saja, dokter spesialis lain adalah sebagai mitra pendukung dalam penegakan hukum, seperti dokter spesialis Patologi Anatomi dan lainya,” katanya.

Memang katanya, dari pelaksanaan otopsi selama ini juga ada yang tidak berjalan lancar, karena terhalang beberapa kendala. Diantaranya, Kondisi Mayat sudah mengalami pembusukan lanjut (Skletonisasi) atau sudah menjadi kerangka yang tidak dapat lagi dinilai. Karena dalam pemeriksaan otopsi itu adalah perpaduan pemeriksaan jaringan-jaringan lunak (organ dalam atau permukaan kulit) sebagai indikasi awal adanya perlukaan seperti adanya luka-luka.

Selain itu, mindset bahwa otopsi adalah akan diambil organnya, padahal tidak, karena sekalipun jika akan diambil organ itu hanya untuk sampel pemeriksaan jika dianggap perlu atau dalam pemeriksaan menemukan kendala untuk menentukan sebab mati. Organ yg diambil hanya sedikit atau seperlunya saja dan itu pun wajin sepengetahuan dan persetujuan penyidik yang dituangkan dalam bentuk berita acara pengambilan sampel.

Selanjutnya, ada ketidak inginan dari pihak keluarga, dimana hal ini juga disebabkan kurangnya wawasan dan pengetahuan hukum pihak keluarga. Sehingga tidak jarang harus melakukan penjelasan yang dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak keluarga untuk kepentingan penyidikan.

“Jika dilihat dari pengaruh budaya dan agama, sebenarnya sudah ada Fatwa MUI bahwa untuk kepentingan Hukum, Otopsi diperbolehkan. Dalam melakukan prosedur otopsi berdasarkan permintaan tertulis penyidik, sesuai amanah UU yang tertuang dalam KUHAP, pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan atau tidak (menolak) terhadap prosedur otopsi selama Seseorang yang mati tersebut diduga kuat terkait tindak pidana. Namun yg wajib bagi keluarga adalah menerima pemberitahuan yang di lakukan oleh penyidik dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan terhadap tujuan otopsi,” ujarnya.

Lebih jauh kata Supriyanto, terkait ahli Forensik atau Kedokteran Kepolisian (Dokpol), masyarakat juga harus mengetahui  lebih dalam. Agar kedepan tidak ada lagi anggapan – anggapan negatif, karena Dopol ini adalah penerapan ilmu kedokteran yang digunakan untuk kepentingan tugas tugas Kepolisian. Diantaranya Kedokteran Forensik dan Disaster Victim Identification  (DVI). Karena Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Sedangkan DVl, adalah kegiatan identifikasi terhadap korban mati akibat bencana yang dilakukan secara ilmiah sesuai standar interpol dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Sementara untuk kemampuan Kedokteran Forensik, mampu melakukan, Olah TKP Aspek Medik, Patologi Forensik (Ilmu ttg kematian), Odontologi Forensik
(Ilmu ttg kedokteran gigi), Antropologi Forensik (Ilmu ttg kerangka manusia), Toksikologi Forensik (Ilmu ttg keracunan) dan DNA Forensik (Ilmu ttg biologi molekuler manusia).

“Selain itu, Kedokteran Forensik juga Mampu melakukan Visum Fisik HIDUP seperti: Penganiayaaan, Kekerasan Seksual dan KDRT. Visum Fisik MATI seperti:
Periksa luar mayat, Otopsi dan Ekshumasi. Identifikasi Korban,. Visum Psikiatri untuk Korban atau Tersangka guna membantu proses penegakan hukum dan Bantuan Hukum terhadap hal yang berhubungan degan Medikolegal,” tuturnya.

Untuk Kekuatan, Kedokteran Forensik Rumah Sakit Bayangkara Biddokes Polda Riau, ada Kabid Dokes Polda Riau, Kombes Pol dr. Adang Azhar, Sp.FM, DFM yang memilki pengalaman penanganan kasus yang tidak diragukan lagi. Hal itu juga seiring pengalaman yang sering terlibat dalam penanganan kasus DVI di Indonesia. Bahkan sudah sering mewakili Indonesia sebagai ahli Forensik untuk tingkat Internasional. Seperti kebakaran masal di Australia.

“Begitu juga dengan benerapa ahli lainya, seperti Prof. Dr. dr. Dedi Afandi, DFM, Sp.FM (K) (Dekan dan Guru Besar FK UNRI), dr. M. Tegar Indrayana Sp.FM (Dosen FK UNRI), dr. Arwan, M.Ked.For, Sp.FM (Kepala Bagian Forensik FK UNRI & Dosen FK UNRI) dan dr. Indrs Faisal, MH, Sp.FM, (Dosen FK UNRI) yang memiliki keahlian yang tidak diragukan lagi untik Forensik,” tuturnya.

Sebagai Informasi, adapun giat Kedokteran Kepolisian Biddokes Polda Riau dan Rumah Sakit Bhayangkara Pekanbaru selama tahun 2019. Kasus terbesar berada pada kekerasan seksual, yaitu mencapai 282 orang yang hampir naik 100 persen dari tahun 2018 yang hanya 190 orang.

Sedangkan korbannya, merupakan anak dibawah umur, dengan jenis kasus Sodomi, Cabul, Zina atau persetubuhan.

Terkait beberapa kasus lainya, seperti kasus penganiayaan sesuai data visum ada sebanyak 1.397 sedikit menurun dibanding tahun 2018 dari 1.430 kasus. KDRT 219 kasus. Visum luar mayat, sebanyak 44 kasus dan otopsi mayat sebanyak, 71 kasus yang juga menurun di banding 2018 dari 74 kasus.(dre)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *