Riau

Pengemis Tua, Rp10 Juta per-Bulan

Oleh: El Wahyudi Panggabean

PEKANBARU, Riau Andalas. com –  SIANG ini (6 Mei 2017). Aku sempat bercengkrama dengan seorang pria usia 66 tahun. Berpostur kecil agak pendek. Mengenakan peci dan kemeja uni-form lusuh. Jenggot lebat telah memutih.

Sang Pengemis tuna netra ini, bersama bocah “sopir”-nya, usia 11 tahun. Mereka tengah melepas lelah di sebuah warung, kawasan Pasar Syariah, Tanah Merah, Siak Hulu, Kampar.

Sang bocah, anak bungsunya, yang hari itu jadi mitra pemandunya, bernama Syahrul Gunawan. Oh…sepotong nama yang kreeennnn!

Nasi goreng telur plus susu telor, menu pilihan mereka saat jam melewati angka 11. Menu ludes dari piring, tubuh tersandar di kursi. Kini, giliran meneguk gelas lewat pipet….

Pasar mulai sepi. “Lumayan juga hari ini, Rp 450 ribu,” katanya, enteng. Wow…..Pantastis! Penghasilan menggiur pada durasi operasi sekitar 150 menit.

“Yang paling besar di Pasar Kerinci, Rp 650 ribu hanya dalam 3 jam,” ujarnya, bangga. “Tapi biaya opersional ke sana habis juga Rp 150 ribu,” katanya.

Pasar Sei Sikijang, katanya berpotensi Rp 400 ribu, netto. Pasar lain hanya berkisar rata-rata Rp 300 ribu bersih.

Itu artinya, setiap bulan bisa mencapai Rp 10 juta? “Yah….sekitar itulah,” katanya, setengah berbisik.

“Sangat tak sebanding di tahun 70-an. Di Pasar Pusat Pekanbaru saya dapat Rp 150 ribu sehari. Saat itu nasi sepiring hanya Rp 300. Kini, uang tu tak bernilai,” katanya.

Bekerja disiplin, terjadwal: Ahad di Pasar Kerinci, Senin dan Rabu di Pasar Cik Puan, Pekanbaru. Selasa di Pasar Sei Sikijang, Kamis dan Jum’at di Pasar Pagi Arengka dan Sabtu di Pasar Syariah ini.

Menginjakkan kaki di Kota Pekanbaru sejak tahun 1970, sekaligus memulai karir sebagai pengemis.

Pria bernana lengkap Herman Abdullah ini menderita kebutaan sejak usia 2 tahun saat terserang penyakit campak.

“Di Pariaman saya sempat bisnis kelapa tapi tidak bertahan. Aku tak pernah sekolah dan tak punya keahlian apa pun, makanya jadi pengemis,” ujar pria ayah 7 anak dan kakek 4 cucu itu.

“Ingin juga nambah bini tapi batterey awak tak kuat lagi,” celotehnya.

Informasi dari tetangga perantau dari Pariaman, Pekanbaru menjanjikan kehidupan. Terbukti….

Dari 7 anaknya hanya seorang yang memiliki ijazah setara SLTA. “Toh, seperti kakak-kakaknya dia jadi jual cabai juga,” ungkapnya.

Tetapi, tersirat kebanggaannya atas pekerjaan yang telah dilakoninya nyaris setengah abad itu:

“Untung saya sempatkan mengkredit tanah di Kulim 30 tahun lalu,” katanya.

Di atas lahan yang dibeli Rp 1 juta itu, Herman membangun rumah untuk keluarganya serta dua petak rumah untuk disewakan dengan cost Rp 1 juta sebulan untuk 2 petak rumah.

Di balik kisah cerianya, terbersit juga kesan suram atas anak-anaknya. “Ini anak bungsu saya ini tak mau sekolah, hanya sampai kelas 4 SD. Dia lebih suka ikut saya,” katanya.

Setiap kerja bungsunya dibayar Rp 100 ribu. Namun, ke luar kota Herman mesti dipandu anaknya yang nomor tiga yang sudah beristeri dan punya 2 anak. “Dengan dia sebagai pemandu, penghasilan bersih harus bagi dua,” imbuhnya.

Saat ditanya apakah selama ini ada terniat ‘tuk alih profesi? Herman tampak memalingkan wajah kemudian berujar: “Tidak pernah!”

Apakah selama ini ada hambatan dalam pekerjaan? Herman langsung menjawab:
“Tida ada. Makanya, dalam situasi apapun sholat tak pernah kutinggalkan…”

Nah, uang bagi hasil untuk apa digunakan si Bocah ini? Herman berujar ringan: “Habis untuk internet….”****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *