NasionalPolitik

Demokrasi Pancasila tidak Mengenal istilah Oposisi

TERUS terang, tulisan ini saya buat karena sering kali merasa terganggu mendengar istilah oposisi yang diucapkan oleh para Pengamat, Politisi dan bahkan Pakar Hukum. Yang menurut hemat saya, itu tidak tepat.

Pancasila sebagai Dasar Negara kita,Yang kita akui sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, telah menjelaskan dengan gamblang melalui sila ke empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Yang bermakna, bahwa semua proses pengambilan kebijakan selalu mengedepankan musyawarah untuk mufpakat, dan jika musyawarah tidak tercapai barulah opsi pengambilan keputusan diambil melalui voting oleh perwakilan yang ada di legislatif.

Karena itulah, maka selama Orde Baru (Orba) praktek ini dilaksanakan termasuk memilih presiden dan menetapkan haluan negara,yang kita kenal dengan istilah GBHN. Sehingga presiden disebut mandataris MPR.

Namun, reformasi pada tahun 1998, menuntut reformasi pada segala bidang,termasuk Reformasi Hukum dan Demokrasi Presiden tidak lagi dipilih oleh Anggota MPR melainkan dipilih lansung oleh rakyat. Yang memaksa terjadinya amandemen UUD Negara 1945, sebanyak empat kali.

Namun pada kenyataannya, meskipun hasil amandemen membuat kita tidak lagi mengenal Lembaga Tertinggi Negara yaitu MPR. Tapi pada hakekatnya Presiden, MPR, DPR, DPD dan (beberapa lembaga tinggi negara) memiliki kedudukan yang sama. Sehingga tidak bisa saling mengintervensi antara satu dengan yang lainnya.

Pemilihan Presden secara lansung oleh rakyat ini bermakna ingin memberi legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wapres. Namun, setelah Pilpres dilaksanakan, maka siapapun peserta kontestasi itu seyogyanya harus legowo mendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk menjalankan pemerintahan selama lima tahun kedepan. Sesuai Amanat yang tersirat dalam Pancasila (khususnya sila keempat), dan UUD NKRI 1945. Karena Keduanya tidak memberi ruang dan tidak mengatur tentang adanya istilah oposisi.

Bagaimana fungsi chek and balances ?
Yang jelas di Indonesia menganut sistem Presdential, yang berarti bahwa Presiden terpilih (meskipun dipilih oleh mayoritas rakyat) ,namun tetap dapat dikontrol oleh legislatif dari fraksi-fraksi di Parlemen. Baik yang tergabung dalam koalisi ataupun yang tidak masuk dalam koalisi pendukung.

Koalisi itupun dibentuk sebagai syarat dukungan untuk mengusung Capres dan Cawapres pada Pilpres. Namun itu tidak selalu bersifat permanen, karena juga tidak diatur dalam konstitusi. Tapi yang perlu dipahami, bahwa tugas anggota legislatif sesuai amanah konstitusi yaitu,melaksanakan fungsinya yaitu pengawasan, penganggaran, dan legislasi.

Berdasar uaian diatas, Saya berpendapat bahwa jika Undang-Undang Pemilu dirubah, maka penting dipertimbangkan bahwa peserta kontestasi Pilpres tidak perlu hanya diikuti dua pasangan, termasuk tidak perlu diadakan dua putaran untuk menetapkan pemenang yang mendapatkan dukungan mayoritas.

Tetapi dengan semakin banyak peserta kontestasi, maka akan lebih baik dan cukup satu putaran. Dan yang memperoleh suara terbanyak lansung ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Hal ini untuk bertujuan menghindari terbelahnya masyarakat. Yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan Bangsa.

Bukankah, demokrasi Pancasila  ini jelas mengajarkan bahwa siapapun yang menang, maka yang kalah harus
mengakui dan mendukung meskipun tetap dapat mengkritidi di Parlemen. Ini, sesuai sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat, Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

JAKARTA, Sabtu 29 Juni 2019

Oleh : Ir HM Idris Laena MH
Sekretaris Fraksi Golkar MPR RI
Asli Putra Provinsi Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *